Semua orang pasti memiliki pengalaman, dari pada tertawa atau menangis pada gunung dan laut lebih baik bercerita saja, karena gunung dan laut tak punya nyawa untuk mendengarkan cerita kita,dengan bercerita siapa tahu dapat bermanfaat untuk orang lain, tapi ingatlah kawan, nggak semua orang mau mendengar cerita kita.:D
MARI MEMBACA
Selamat datang disekolah, dimana saat
pagi semua murid sibuk mengerjakan tugas, mengantuk saat pelajaran berlangsung,
malam minggu galau, senin mengeluh, ulangan nyontek, dan tiada hari tanpa
ketawa. Memang terdengar asik, namun itu tak selamanya.
Malam ini masih dalam suasana
ramadhan, aku sedang berbuka bersama disekolah. Malam ini, dimana semua bintang
terlihat jelas, aku terhenti sejenak saat melihat gemericik air dikolam dekat
tempat ku berdiri, pantulan cahaya bulan tampak diair, cahaya remang-remang
lampu sekolah membuatnya semakin nyata. Kakiku langsung bergerak menuju
jumbatan diatas kolam dan duduk diatasnya. Air kolam yang berwarna hijau dan
terkesan jorok terasa dingin mengenai kaki ini, ditambah dinginnya angin malam
yang menembus bajuku. Ya, aku sangat menyukainya. Seluruh tubuh ini terasa
segar. Setelah sekian lama tubuh ini merasa panas sekali akibat aku memakai
kerudung. Aku memang tidak terbiasa berkerudung, apalagi aku tergolong orang
yang banyak bergerak dan tidak perduli dengan penampilan. Meski seringkali aku
merasa berdosa karena memperlihatkan aurat ku.
“mbak Hanis” sapanya dari dalam ruang
osis. Dialah seorang adik kelas yang kemudian ku panggil Bita.
Aku meninggalkan jumbatan itu dan
berjalan menuju ruang osis. Setelah cukup lama mengobrol dengan teman-teman
diruang osis. Tiba tiba saja aku berkata “aku ingin berkerudun.” semua diam
.
“aku juga” Bita menyambung.
“menutup aurat itu wajib teman teman”
Haykal menambahkan.
“ayo tak ajari kerudungan” jawab
Nadia.
Setelah beberapa menit diajari cara memakai kerudung dengan benar dan
rapi, aku semakin ingin berkerudung. Akhirnya aku dan Bita memutuskan untuk
berkerudung.Tepatnya tanggal 4 Agustus. Saat itu ada
acara salam-salaman disekolah, karena memperingati selelsainya Hari Raya Idul
Fitri.
Hari pertama untuk ku berkerudung,
begitu juga Bita. Tak semudah banyangan dibenakku. Aku sempat malu. Berapa saat
setelah itu aku bertemu dengan Pak Bambang, salah satu guru disekolah ku, ia
berkata
“selamat ya, kalo sudah berkerudung,
berkerudung terus lo ya.., jangan sampai dilepas. Terus kalo bisa, kerudungan
itu jangan di sekolah aja, tapi di rumah juga. Tapi, semua itu tergantung
niatnya.” kalimat itu yang seakan menjadi penjaga bagiku untuk selalu
berkerudung.
Hari pertama yang kulalui, banyak berterbangan
komenter-komentar seperti,
“wah, hanis tobat” “dapet hidayah apa
nis?” “cie.. selamat ya..”sapaan beberapa temanku.
Beberapa hari telah kulewati, dan
hari ini ada sarapan pagi dan makan siang dari sesosok orang, yang tidak tau
apa maksud dari mereka.
“kamu tidak cocok berkerudung Hanis,
jadi bagaimanapun itu kamu tetap terihat aneh” dari seorang murid aneh yang
tiba-tiba mengritik
“lagian kamu kalo kerudungan itu juga
nggak rapi, lepas aja kerudungmu, kamu lebih cocok tidak berkerudung” sahabat
seperjuangannya berusaha memberi saran bodoh.
Kritikan-kritikan yang tidak penting
itu sangat membuatku enek dan seketika menjadi badmood.
Sebenarnya mereka adalah satah satu
dari sekian banyak orang yang berbicara seperti itu, namun hanya itu yang ku ingat.
Hampir semuanya tentang kerudung yang tidak rapi, dan sisanya tentang wajah ku
yang terlihat aneh.
Saat hari sabtu aku bertemu dengan
seorang guru
“kerudungan macam apa ini? Tidak rapi
begini?” tanya guru itu
“ini seni bu” jawabku
“seni kok kayak gini, poni mu itu lo,
pakek kerpus-ikat untuk kerudung-biar rapi”srang dia.
“baiklah” aku berkata
keesokan harinya aku memakai kerpus,
tapitetap saja hasilnya nihil. Kerudung itu tetap tidak rapi. Sebenarnya bisa
rapi, walau hanya sesaat. Namun itu membutuhkan waktu yang cukup lama, apalagi
aku susah sekali untuk bangun pagi. Dan benar saja setiap hari aku tidak rapi,
dan setiap hari mendapat kritikan. Sungguh menyebalkan. I hate
“kritikan”.
Sampai pada suatu titik kejenuhan ku,
aku merasa ingin melepas kerudung, karena aku malas dikritik, lagi pula aku
juga jadi sering telat. Saat
itu sedang dikelas 9G
“apa aku lepas kerudung saja ya?”
tanyaku pada temanku bernama Hana.
“kenapa?” jawab Hana. “aku merasa aneh
saat berkerudung, aku merasa panas sekali, dan aku merasa malas dengan
kritikan-kritikan mereka. Lagipula aku juga tidak bisa berkerudung dengan
rapi.” jawabku
“yang namanya orang berbuat baik itu
pasti ada cobaan, dihadapi saja, lama-lama kamu juga akan terbiasa” jawab Hana.
“kalau kamu merasa panas, anggap saja
itu dosamu selama ini dibakar Allah, lagipula panasnya dunia masih kalah panas
dengan panasnya api neraka” jawab temanku bernama Ariffa.
“apa anehnya berkerudung, justru kamu
akan terlihat lebih cantik saat menutup aurat niatkan dalam hati Nis.
Soal
kritikan, biarkan saja mereka berbicara sesuka hatinya.” tambahan jawaban Hana.
“tapi aku merasa sudah bosan
dikritik-kritik terus” perkataan ku.
“inget Nis, innallaha
maasshobiriin, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang sabar.” jawab
Hana.
Setelah mendengarkan kata temanku
itu, aku mulai sadar dengan makna berkerudung. Aku yang menjalani ini, tapi
megapa kaum pengkritik itu sibuk memikirkan ku? Lagipula dia belum tentu lebih
baik dariku.
Sekarang, aku merasa lebih percaya
diri berkerudung. Kumpulan kritikan itu kujadikan saran, aku tidak membencinya.
Aku berterima kasih kepada semua orang yang mengkritikku. Aku juga sudah mulai
terbiasa dengan panasnya matahari. Dengan berkerudung aku lebih dihargai orang,
khususnya orang yang tidak kukenal. Kini setiap masalah kuhadapi dengan sabar
dan berserah diri kepada Allah. Belajar dari pengalaman sebelumnya. Seperti
aku, tubuh nihil yang berkerudung. Tubuh nihil adalah sebutanku karena sering
kali aku merasa nihil dalam kehidupanku.
Sampai pada suatu hari saat aku
membuka twitter
“Kalau ada yang membenci kamu, itu
perkara biasa, karena hidup ini bukan untuk membahagiakan semua orang, tetapi
untuk mentaati perintah tuhan.”
0 komentar:
Posting Komentar